LIMBAH SAWIT
Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab pencemaran yang terdiri dari zat atau bahan yang tidak mempunyai kegunaan lagi bagi masyarakat (Agustina, dkk, 2009). Dalam pengelolaan industri kelapa sawit juga dihasilkan limbah baik yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit maupun yang dihasilkan oleh industri pengolahan kelapa sawit. Untuk menghindari masalah lingkungan yang diakibatkan oleh limbah industri kelapa sawit, maka diperlukan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini didukung oleh sikap untuk menciptakan produk yang harus berorientasi lingkungan dan harus dibuat dengan proses yang ramah lingkungan (green consumerism) dan menempatkan lingkungan sebagai non tariff barrier. Oleh karena itu pendekatan yang banyak diterapkan adalah konsep produk bersih (cleaner production). Konsep ini dilakukan dengan strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif, terpadu, dan diterapkan secara terus menerus pada setiap kegiatan mulai dari hulu hingga hilir yang terkait dengan proses produksi, produk, dan jasa untuk meningkatkan efesiensi pemakaian sumberdaya alam, mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dan dan mengurangi terbentuknya limbah pada sumbernya, sehingga dapat meminimalisasi resiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia serta kerusakan lingkungan. Kata kunci yang diperlukan dalam pengelolaan adalah menimalkan limbah, analisis daur hidup, teknologi ramah lingkungan. Pola pendekatan untuk menciptakan produk bersih adalah pencegahan dan meminimalisasi limbah yang menggunakan hirarki pengelolaan melalui 1 E 4 R yaitu Elimination (pencegahan), Reduce (pengurangan), Reuse (penggunaan kembali), Recycle (daur ulang), Recovery / Reclaim (pungut ulang) (Panca Wardhanu, 2009)
Pemerintah secara prinsip mewajibkan kepada setiap badan usaha atau industri untuk mengelola limbah yang dihasilkannya agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini tercermin dalam bentuk peraturan perundangan yang berlaku antara lain Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemeritah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air, Pengendalian Pencemaran Air .
Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pemanfaatan air limbah untuk digunakan sebagai pupuk pada lahan di perkebunan kelapa sawit yaitu:
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 28 Tahun 2003 tentang Pedoman Teknis Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah Dari Industri Minyak Sawit Pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 29 Tahun 2003 Tentang Pedoman Syarat dan Tata Cara Perizinan Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit Pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit.
Pengelolaan Limbah Padat Limbah Industri Kelapa Sawit
Limbah padat yang dihasilkan oleh industri pengolahan kelapa sawit terdiri atas tandan kosong kelapa sawit (20-23 %), serat (10-12 %), dan tempurung / cangkang (7-9 %) (Naibaho, 1996). Tandan kosong kelapa sawit dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk kompos dengan proses fermentasi dan dimanfaatkan kembali untuk pemupukan kelapa sawit itu sendiri. Penggunaan pupuk tandan kosong kelapa sawit dapat menghemat penggunaan pupuk kalium hingga 20 %. 1 ton tandan kosong kelapa sawit dapat menghasilkan 600-650 kg kompos.
Selain itu tandan kosong kelapa sawit mengandung 45 % selulose dan 26 % hemiselulose. Tingginya kadar selulose pada polisakarida tersebut dapat dihidrolisis menjadi gula sederhana dan selanjutnya difermentasi menjadi bioetanol. Bioetanol ini dapat digunakan sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui dengan cepat (renewable). 1 ton tandan kosong kelapa sawit dapat menghasilkan 120 liter bioetanol (Anonymous, 2009).
Tandan kosong kelapa sawit juga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bahan pulp untuk pembuatan kertas. Selain itu dapat dimanfaatkan untuk pembuatan sabun dan media budidaya jamur, sehingga dapat menambah pendapatan dan mengurangi limbah padat.
Cangkang dan serat kelapa sawit dapat dipergunakan sebagai sumber energi potensial. Cangkang dan serat kelapa sawit biasanya dibakar untuk menghasilkan energi. Energi yang dihasilkan oleh pembakaran cangkang dan serat telah mencukupi kebutuhan energi pengolahan pabrik kelapa sawit. Namun seiring dengan pelarangan pembakaran cangkang dan serat, maka serat dan cangkang dimanfaatkan untuk keperluan lain. Cangkang saat ini telah dimanfaatkan untuk pembuatan berikat arang aktif dan bahan campuran pembuatan keramik. Sedangkan serat dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk.
Sementara itu limbah yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit berupa pelepah kelapa sawit dan batang kelapa sawit telah dimanfaatkan sebagai bahan pulp untuk pembuatan kertas dan perabot. Sedangkan daun dan pelepah kelapa sawit digunakan untuk pakan ternak ruminansia.
Pemanfaatan Limbah Pabrik Sawit untuk Pakan Sapi.
Tandan kosong
Tandan kosong merupakan limbah yang paling banyak dihasilkan oleh pabrik pengolahan sawit. Bahan ini mempunyai protein 3,7 % dan nilai gizinya sama, atau lebih baik dari jerami pada (Osman, 1998). Akan tetapi, teksturnya keras seperti kayu, selungga, tidak disukai oleh ternak kecuali bahan ini diolah lebih dahulu dalam bentuk lain yang lebih disukai.
Meskipun sudah ada beberapa penelitian yang dilakukan untuk pemanfaatan tandan kosong menjadi pakan ternak, kenyataannya sampai saat ini, bahan tersebut umumnya masih digunakan sebagai mulsa, yang dikendalikan ke kebun sawit. Pemanfaatan bahan ini sebagai bahan pakan mungkin merupakan alternatif terakhir
Serat perasan buah
Serat sisa perasan buah sawit merupakan serabut berbentuk seperti benang. Bahan ini mengandung protein kasar sekitar 4% dan serat kasar 36% (lignin 26%). Dari komposisi kimia yang dimiliki, bahan ini mempunyai kandungan gizi yang setara dengan rumput.
Penggunaan serat perasan buah sawit dalam ransum sapi telah diteliti oleh Hutagalung et al. (1986). Bahan ini mernpunyai nilai kecernaan sekitar 47%. Penggunaan serat perasan dalam ransum sapi disarankan sekitar 10% dari konsumsi bahan kering. Serat perasan ini kurang disukai oleh ternak sapi, oleh karena itu perlu pengolahan agar bahan ini dapat digunakan secara optimal. Proses fermentasi temyata dapat meningkatkan palatabilitas bahan ini (Suharto, 2004). Perlakuan amoniasi telah dilaporkan dapat meningkadm pertambahan bobot badan sapi bila dibandingkan dengan yang tidak di proses (Hutagalung et al., 1986), seperti terlihat pada Tabel 2. Rossi dan Jamarun (1997) melaporkan serat sawit dapat digunakan sebagai pengganti 50% nunput lapangan dalarn ransum sapi dengan suplementasi bungidl inti sawit.
Lumpur sawit
Dalam proses pengolahan minyak sawit (CPO) dihasilkan limbah cairan yang sangat banyak, yaitu sekitar 2,5 m3/ton CPO yang dihasilkan. Limbah ini mengandung bahan pencemar yang sangat tinggi, yaitu. ‘biochemical oxygen demand’ (BOD) sekitar 20.000‑60.000 mg/l (Wenten, 2004). Pengurangan bahan padatan dari cairan ini dilakukan dengan menggunakan suatu alat decanter, yang menghasilkan solid ‘decanter atau lurnpur sawit. Bahan padatan ini berbentuk seperti lumpur, dengan kandungan air sekitar 75%, protein kasar 11‑14% dan lemak kasar 10‑14%. Kandungan air yang cukup tinggi, menyebabkan bahan ini mudah busuk. Apabila dibiarkan di lapangan bebas dalam waktu sekitar 2 hari, bahan ini terlihat ditumbuhi oleh jamur yang berwarna kekuningan. Apabila dikeringkan, lumpur sawit berwarna kecoklatan dan terasa sangat kasar dan keras. Banyak penelitian telah dilaporkan tentang penggunaan lumpur sawit sebagai bahan pakan ternak ruminansia maupun non‑ruminansia. Berdasarkan percobaan yang dilakukan pada ternak sapi, Suharto (2004) menyimpullm bahwa kualitas lumpur sawit lebih unggul dan dedak padi.
Sutardi (1991) melaporkan penggunaan lumpur sawit untuk menggantikan dedak dalam ransum sapi perah jantan maupun sapi perah laktasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa penggantian semua (100%) dedak dalam konsentrat dengan lumpur sawit memberikan perturnbuhan dan produksi susu yang sama dengan kontrol. Bahkan ada kecenderungan bahwa kadar protein susu yang diberi ransum lumpur sawit lebih tinggi dari kontrol. Hal yang serupa juga, dilaporkan oleh Suharto (2004). Menurut Chin (2002), pemberian lumpur sawit yang dicampur dengan bungidl inti sawit dengan perbandingan 50:50 adalah yang terbaik untuk pertumbuhan sapi. Dilaporkan bahwa sapi droughtmaster yang digembalakan di padang penggembalaan rumput Brachiaria decumbens hanya mencapai pertmbuhan 0,25 kg/ekor/hari, tetapi dengan penambahan lumpur sawit yang dicampur dengan bungkil inti sawit, mampu mencapai pertmbuhan 0,81 kg/ekor/hari.
Solid Membran
Limbah cairan yang dikeluarkan setelah pengutipan lumpur sawit, masih mengandung bahan padatan yang cukup banyak. Oleh karena, itu, bahan ini merupakan sumber kontaminan bagi lingkungan bila, tidak dikelola, dengan baik. Suatu metoda baru untuk memisahkan padatan dan cahun~ dengan menggunakan alat penyaring membran keramik sedang dikembangkan di P.T. Agricinal ‑Bengkulu (Wenten, 2004). Aplikasi teknik ini dapat mengutip padatan dengan jumlah sekitar dua, kali lipat lebih banyak dari padatan yang dikutip oleh decanter. Bahan ini disebut ’solid heavy phase’ atau ’solid membran’, berbentuk pasta dengan kadar air sekitar 90%, dan berwarna. kecoklatan. Bahan yang sudah dikeringkan mengandung protein kasar sekitar 9 %, serat kasar 16% dan lemak kasar 15% (Tabel 1). Dari kandungan gizinya, kemungkinan bahan ini bukan hanya, cocok digunakan sebagai bahan pakan untuk temak ruminansia, tetapi kemungkinan juga. baik untuk temak non‑ nuninansia. Belum ada, penelitian tentang penggunaan bahan ini sebagai bahan pakan temak, eksplorasi untuk ini sedang Bungkil Inti Sawit
Bungkil inti sawit merupakan hasil samping dari pemerasan daging buah inti sawit. Proses mekanik yang dilakukan dalam proses pengambilan minyak menyebabkan jumlah minyak yang tertinggal relatif cukup banyak (sekitar 7‑9 %). Hal ini menyebabkan bungIdl inti sawit cepat tengik akibat oksidasi lemak yang masih tertinggal‑ Kandungan protein baban ini cukup tinggi, yaitu sekitar 12‑16%, dengan kandungan serat kasar yang cukup tinggi (36%). Bungkil inti sawit biasanya terkontaminasi dengan pecahan cangkang sawit dengan jumlah sekitarl5‑17%. (Anonymous, 2002). Pecahan cangkang ini mempunyai tekstur yang sangat keras dan tajam. Hal im menyebabkan bahan tersebut kurang disukai ternak dan dikhwatirkan.
Pemanfaatan Tandan Kosong Untuk Kompos
Limbah padat tandan kosong sawit (TKS) dibakar dalam incinerator dan abunya yang mengandung Kalium cukup tinggi yaitu mencapai 127,9 mg/100 g. Sistem pengomposan untuk tandan kosong kelapa sawit (TKKS) di sebut kompos bioaktif. Proses pengomposan tandan kosong kelapa sawit menjadi kompos bioaktif berlangsung 3-6 bulan. Hal ini dapat dipercepat menjadi 2-3 minggu apabila dikombinasikan antara pencacahan atau pengecilan bahan baku dengan mesin pencacah dan pemberian aktivator dekomposisi yaitu orgadec (organik decomposer)
Pada kelapa sawit, dengan menggunakan kompos bioaktif TKKS yang matang (C/N ratio, 20) dengan 50 % dosis pupuk konensional, meningkatkan produksi dan mempercapat masa produksi tanaman kalapa sawit dari 30 – 32 bulan menjadi 22 bulan.
Dari survey yang dilakukan pemupukan kelapa sawit TBM kandungan hara dalam satu hektarnya adalah 80,4 kg N, 9,9 kg P, 106,8 kg K dan 12 kg Mg. Nilai ini didapat bahwa rata-rata dosis yang umum digunakan adalah 1,25 kg urea, 0,50 kg RP, 1,50 kg MOP dan 0,50 kg Kieserit.